SEJARAH KOTA
Di Tanggung dan Kedungjati, Menyaksikan Sejarah Kereta Api
DARI lintasan rel kereta api pada sebuah jalan desa, satu bangunan tua berdinding kayu bercat putih diselingi warna biru pada beberapa bagian, terlihatkokoh berdiri. Suasananya sama sekali tidak mengesankan tempat yang berdiri sejak 135 tahun lalu sebagai tempat pelayanan publik yang biasa ramai dikunjungi orang.Bangunan yang masih kokoh dan terpelihara itu adalah stasiun kereta api di Desa Tanggung, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah). Bersama Stasiun Kemi-jen, Semarang yang bangunannya sudah tidak bisa disaksikan lagi, stasiun ini merupakan yang tertua di Indonesia. Dibangun bersamaan dengan pembangunan rel KA pertama antara Kemijen-Tanggung sejauh 25 km yang diresmikan dan dioperasikan untuk umum 10 Agustus 1867.
Untuk menyaksikan peninggalan yang sangat berarti bagi dunia per-keretaapi-an di Indonesia itu, tak tersedia lagi angkutan KA yang bisa mencapai desa tersebut dalam waktu setengah jam dari Semarang. Kalaupun ada KA penumpang atau barang, Stasiun Tanggung hanya dilewati. Dengan mobil, jaraknya dari Semarang menjadi sekitar 40 km melalui Tegowanu di jalur Semarang- Purwodadi. Selain itu, ada jalan desa yang kondisinya parah untuk dilalui mobil.
"Stasiun ini tidak lagi berfungsi menaikkan atau menurunkan penumpang, tetapi hanya sebagai stasiun pengawas keamanan perjalanan kereta api di lintasan ini," ungkap B Sunarto, Kepala Stasiun Tanggung yang bekerja di sana sejak tahun 1974.
Meski demikian, bangunan yang tahun 1986/1987 hendak dibongkar dan ditempatkan di Taman Mini Indonesia Indah itu tetap dipelihara. Hanya dengan mengecat setahun sekali, bangunan itu terlihat sangat kokoh dibanding rumah dinas Kepala Stasiun yang berupa rumah panggung di belakang stasiun tersebut.
Karena fungsinya yang terbatas, tidak ada jalan keluar masuk kendaraan ke stasiun. Jalan masuk kendaraan melalui perumahan penduduk yang dibangun di pekarangan stasiun dengan menyewa kepada PT KAI. "Hasil sewa yang dibayarkan setiap musim panen tembakau seluruhnya sekitar Rp 5 juta, merupakan satu-satunya penghasilan Stasiun Tanggung yang tidak cukup untuk menutupi biaya operasional termasuk gaji enam orang pegawai," jelas Sunarto.
Sepintas bangunan stasiun tertua berukuran sekitar 20 x 8 meter itu masih utuh, tetapi sejak tahun lalu di teras yang semula berfungsi sebagai peron dibangun ruangan sinyal berukuran 4 x 2,5 meter. Dengan adanya ruang sinyal ini, petugas tidak lagi berjalan kaki untuk memindahkan jalur perjalanan KA.
***
DENGAN melihat Stasiun Tanggung dan sekitarnya, bisa dibayangkan alasan Kolonel Jhr van Der Wijk pada tanggal 15 Agustus 1840 mengusulkan agar di Pulau Jawa dibangun transportasi KA untuk kepentingan pertahanan dan keamanan serta ekonomi. Usul itu terwujud ketika pada hari Jumat 7 Juni 1864 di Desa Kemijen, Semarang, dimulai pemasangan jalan rel KA, lalu tanggal 10 Agustus 1867 perjalanan KA lintas Semarang (Kemijen)-Tanggung sepanjang 25 km dibuka dan dioperasikan untuk umum.
Di Desa Tanggung hingga saat ini masih bisa disaksikan areal hutan jati dan hamparan tanaman tembakau lokal atau tebu. Sejak zaman Belanda, kayu jati, tembakau, dan gula di jalur Semarang-Solo merupakan komoditas yang diekspor melalui Pelabuhan Semarang.
Saat ini pun jalur KA Tanggung-Semarang masih diharapkan masyarakat karena lebih hemat waktu maupun biaya. Dengan kendaraan umum, dari Tanggung ke Semarang biayanya sekitar Rp 5.000 dan berpindah-pindah kendaraan perlu waktu 1,5 jam-2 jam. Sedang dengan KA ekonomi seperti ketika KA Pandanaran yang beroperasi hingga tahun 1999, ongkosnya Rp 1.000 dalam waktu setengah jam.
"Kalau masih ada KA ekonomi, paling tidak 40 penum-pang setiap hari tujuan Semarang, atau separuhnya tujuan Solo karena warga Desa Tanggung dulunya berasal dari Solo," jelas Sunarto.
Sejak 16 Mei 2002, Stasiun Tanggung yang sebelumnya dilewati KA barang, KA penumpang Berantas, Matarmaja tujuan Jakarta dari Surabaya dan Kediri, mulai dilalui KA Pandanwangi Semarang-Solo. KA ekspres tersebut tidak berhenti di sepuluh stasiun kecil yang dilewati karena mengejar waktu dua jam menempuh jalur itu. Selain itu, PT KAI khawatir KA Pandanwangi mengalami nasib sama dengan KA Pandanaran yang dirusak penumpang sehingga tidak dioperasikan lagi.
***
TIDAK jauh dari Tanggung, sekitar 10 km, berdiri kokoh Stasiun Kedungjati yang bangunannya lebih luas dengan arsitektur klasik, dibangun enam tahun setelah Stasiun Tanggung. Pengoperasian stasiun yang serupa dengan Stasiun Ambarawa yang kini dijadikan museum KA itu bersamaan dengan selesai dan dioperasikannya untuk umum KA jalur Semarang-Yogyakarta pada 21 Mei 1873. Begitu pula dengan lintas cabang ke Ambarawa dari Kedungjati.
Stasiun Kedungjati, menurut arsitek Ir Andi Siswanto, March MSc, memperlihatkan bagaimana KA diproyeksikan sebagai transportasi yang akan berkembang. Tidak pada saat itu, tetapi hingga masa akan datang. Paling tidak ini dilihat dari bagaimana stasiun itu dirancang, sangat monumental dan sangat teliti dalam penghawaan mengingat tingginya kadar emisi dan radiasi di stasiun karena ramainya orang. Selain itu, stasiun dibangun dengan skala publik. Karena itu, kualitas material termasuk baja untuk rangka emplasemen, harus mampu bertahan hingga ratusan tahun.
Dari segi arsitektur, bisa dipastikan 15 stasiun dari Semarang Tawang hingga Solo Balapan punya daya tarik sendiri. Namun, dari fungsi sebagai prasarana transportasi, sejak awal dirancang untuk kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi. Kedua kepentingan itu ternyata punya keterkaitan yang bisa diatasi kereta api.
Misalnya, pemerintah kolonial Belanda menyetujui pembangunan jaringan KA Semarang-Kedungjati-Ambarawa-Yogyakarta untuk menempatkan 10.000 warga Belanda bekerja di perkebunan. Dari mereka itu nantinya lahir pemuda Belanda yang diharapkan menjadi tentara. (Sejarah Per-keretaapi-an Indonesia-Tim Telaga Bakti Nusantara, Angkasa-Bandung).
Kini, jalur Semarang-Yogyakarta lewat Solo, apalagi lewat Ambarawa nyaris terabaikan. Sebelum KA Pandanwangi beroperasi, jalur Semarang-Solo selain dilewati KA barang, hanya dilalui KA penumpang Matarmaja jurusan Malang-Jakarta, Bangunkerta jurusan Jombang-Jakarta, dan Brantas jurusan Kediri-Jakarta. KA tersebut berhenti di Kedungjati dan Gundih untuk melayani penumpang dari dan ke Jakarta.
Melihat kondisi ini, perlu waktu lama untuk menghidupkan kembali jalur KA Sema-rang-Yogyakarta lewat Solo dan Ambarawa itu. Karena itu, berbagai gagasan muncul untuk memanfaatkan jalur KA yang ada sekaligus menikmati keindahan stasiun tua itu sebagai obyek wisata. (DTH)
Sumber: Kompas, Minggu, 9 Juni 2002
3 comments:
ijin share ya mbak yu...nuwun
jadi kangen ndesoku mbak !! hehehe . .
mas ali, mas phi, monggo di re-share...ini stasiun favoritku, sekarang masih ada dengan keoriginalitasnya, sayang..kereta api sudah di stop yang melalui jalur stasiun ini, semoga hanya sementara..
-sda-
Post a Comment